Pertunjukkan Klimaks dari Risky Summerbee and The Honey Thief.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 19.10. Langit sudah mulai gelap dan saya baru saja tiba di Kedai Santoso. Awalnya hanya berencana untuk menenggak satu gelas cassanova sebelum memulai perjalanan menuju Jogja National Museum (JNM). Di meja itu saya bersama dengan Timoteus Anggawan dan Sadat Laope berbincang-bincang mengenai musik Risky Summerbee and The Honeythief. Dari musiknya yang berbau psychedelic hingga pop folk. Di malam itu juga, Risky akan mengadakan showcasenya yang bertempat di JNM. Topik pembicaraan malam itu di Kedai Santoso menjadi amat hangat karena kita menanti kejutan apa yang akan dibuat oleh Risky Summerbee and The Honeythief di pertunjukkannya.

Setelah 20 menit saya dan kedua teman menikmati satu gelas cassanova. Tanpa membuang banyak waktu kita langsung berangkat menuju JNM karena saya tidak ingin kehilangan momen. Lagipula saya sendiri sudah ditunggu oleh seorang fotografer bernama Doni Maulistia yang acap kali dipanggil Aul yang akan membantu dalam peliputan. Melalui rute jalan Gejayan, kemudian jalan Solo, berbelok kiri menyusuri daerah jembatan layang Lempuyangan, dan sempat berhenti di lampu merah perempatan gayam karena terhalang traffic light. Begitu lampu hijau menyala deru roda motor mulai dibawa menuju jalan Kusumanegara, belok kanan ke arah barat terus hingga setelah jembatan dan memasuki pelataran parkir JNM.

Setibanya di JNM, saya langsung menemui Aul untuk memberikan sebuah tiket untuk akses dia mengambil gambar. Sembari menunggu pertunjukkan dimulai, saya membuka obrolan dengan Aul di pendopo JNM. Perlahan-lahan kerumunan penonton mulai berdatangan. Rata-rata diantara mereka datang secara bergerombol bersama komunitas-komunitasnya masing-masing. Kerumunan penonton mulai terlihat penuh dibibir pintu masuk. Sebatang rokok pun mulai saya nyalakan untuk sekedar sebagai teman bercerita bersama Aul. Setengah batang rokok terhisap, dan suara Ican yang di daulat menjadi MC di acara ini mulai terdengar di dalam ruang pertunjukkan. Saya bergegas beranjak dari persinggahan saya di pendopo untuk kemudian menuju ruang pertunjukkan bersama Aul.

Ruang pertunjukkan yang mirip seperti basement karena berlantai dua. Lantai pertama dengan ruangan yang menjorok ke bawah tempat letaknya stage, dan lantai kedua tempat yang juga bisa melihat stage dari atas. Begitu masuk ruang pertunjukkan, baru beberapa orang saja yang berada dalam ruang tersebut.

“Cari spot yang oke yuk”, sahut Aul.

Saya bersama Aul kemudian mencari spot yang asik untuk melihat pertunjukan dan mengambil gambar tepatnya di depan sound out sebelah barat. Di dalam ruangan terdapat lampu sorot sekitar dua line berwarna kuning yang sedikit sekali menerangi stage.

Sisa rokok setengah batang yang saya hisap sejak dari luar mulai habis, Ican kemudian langsung memanggil penampil pertama untuk malam itu. Bad lovers Company dari Bandung tampil sebagi band pembuka. Sebagai band dari Bandung yang belum pernah saya lihat sebelumnya, Bad Lovers Company memunculkan rasa penasaran dalam diri saya. Namun, yang lebih mengherankan lagi kenapa hanya ada satu orang saja yang tampil. Rupanya Bad Lovers Company tidak tampil dengan formasi lengkap, hanya menyisakan satu orang saja yaitu si vokalis. Sebelum Bad Lovers Company memainkan lagunya, ada sedikit gangguan pada gitarnya. Gitar yang dimainkan tak kunjung mengeluarkan bunyinya. Spontan saja langsung diganti dengan gitar milik Risky yang ada di stage. Gangguan dapat teratasi, lagu pertama pun langsung dilantunkan. Kesan pertama yang saya dapat ketika mendengarkan lagu pertama adalah irama pop folk yang begitu mendominasi dan mudah ditebak. Empat buah lagu yang dibawakan oleh Bad Lovers Company semuanya bernuansa sama seperti lagu pertama. Tidak ada kejutan.

Kelar penampilan Bad Lovers Company, tanpa menunggu lama Ican langsung mempersilahkan kepada penampil kedua untuk unjuk gigi. Seorang gadis manis berbusana sederhana langsung berjalan menuju stage untuk kemudian duduk di belakang keyboardnya yang sudah tersedia. Frau begitu nama panggungnya. Membuka lagu pertama dengan judul Im a Sir. Frau langsung menohok para penonton dengan dentingan magis suara keyboardnya. Seketika suasana kemudian hening dan seluruh atensi tertuju pada Frau seorang. Selesai membawakan lagu pertama, Frau ditanggapi dengan tepuk tangan meriah dan teriakan keras dari penonton. Ini pertanda Frau mampu menarik simpati penonton dengan sukses. Sebelumnya Frau juga sukses memukau penonton pada penampilan tunggalnya di Via-Via Café. Sukses ini berlanjut pada lagu-lagu berikutnya yang dibawakan Frau malam itu di JNM. Tiap kali Frau selesai dengan lagunya penonton memberikan tanggapan dengan meriah. Total ada empat buah lagu dibawakan Frau dengan brilian.

Selesai dengan penampilan Frau, Ican mulai naik keatas pentas untuk memandu jalannya acara. Dengan humornya yang lawas namun tetap menggelitik, Ican mampu mencairkan suasana dan menghilangkan batasan-batasan formal. Tak lama berselang Acum muncul melalui lorong pintu masuk diikuti kemudian oleh Irwin. Keduanya adalah personil band yang bernama Bangkutaman yang menandai saatnya waktu bagi Bangkutaman tampil. Ada momen yang unik kala itu. Sebelum penampilannya, kru Bangkutaman membagikan bunga-bunga untuk penonton yang hadir. Dan saat lagu dimulai, penonton yang telah diberi bunga tersebut diinstruksikan untuk melempar bunga yang telah dibagikan ke arah stage. Saya tidak begitu paham maksud dari pembagian bunga itu, namun hal itu tetap menarik perhatian saya. Dedik si penggebuk drum datang dari arah yang sama untuk menyusul rekan-rekannya yang sudah siap memainkan alatnya. Memakai topi pancing yang populer untuk kalangan indiepop, Dedik pun mulai menyiapkan alatnya. Begitu semua siap dengan alat yang dimainkan masing-masing, suara bass terdengar pertama kali.

Lagu pertama dari band yang besar di Jogja, She Burn the Disco langsung dikumandangkan yang disusul dengan lemparan balik bunga oleh penonton ke arah stage. Saya perlahan mulai berdiri dari posisi semula yang hanya duduk-duduk saja. Saya memang selalu menyukai lagu ini. Kelar lagu pertama dikumandangkan, Acum menjelaskan bahwa dalam beberapa penampilan terakhirnya ritual pembagian bunga dan pelemparan balik bunga oleh penonton selalu dilakukannya. Namun, tetap saja saya tidak paham dengan maksud dan tujuannya. Bangkutaman membawakan beberapa lagu dari album mereka Garage Of The Soul dan mengcover dua buah lagu dari band yang kurang akrab di telinga saya. Sambutan penonton untuk Bangkutaman tidak kalah dari Frau, tetap meriah.

Selesai dengan penampilan Bangkutaman, kini gihliran yang punya hajat naik pentas, Risky Summerbee and The Honey Thief. Sebuah penampilan yang sangat saya tungu-tunggu. Risky yang memakai setelan kemeja putih dipadu dengqan celana jeans gelap. Kemudian Erwin yang memakai setelan yang hampir sama dengan Risky yakni kemeja putih dipasangkan dengan celana jeans berwarna biru kusam ditambah dengan topi. Doni yang memakai sandangan kaos hitam dan jeans yang berwarna gelap dilengkapi dengan topi army. Nadya memakai baju terusan berwarna abu-abu dipadu dengan sepatu boots berwarna hitam. Terakhir Sevri yang memakai kaos sederhana bermotif handrawing berwarna biru muda dengan perpaduan celana jeans berwarna gelap, semuanya telah hadir diatas pentas dan siap menampilkan performa terbaiknya pada showcasenya kali ini.

Nadya duduk di belakang keyboard yang dikedua sisinya dihiasi oleh bunga berwarna oranye. Memulai penampilan malam itu dengan dentingan keyboardnya yang menggugah selera sebagai intro untuk lagu berjudul Overture. Disusul langsung oleh betotan bass dari Doni lalu serentak semua mulai diikuti sorot lampu ke arah RSTH yang semakin terang namun tidak menyilaukan. Lagu Overture sekaligus menandakan bahwa malam ini akan menjadi salah satu malam yang tak akan dilupakan oleh Risky Summerbee and The Honey Thief. Sebuah showcase yang digagas sebagai penanda bahwa albumnya yang bertajuk The Place I wanna Go telah diedarkan di pasar.

Album The Place I wanna Go sendiri berada di bawah naungan Dialectic Records. Sebuah label yang dimiliki sendiri oleh Risky Summerbee and The Honey Thief. Inisiatif untuk membentuk label sendiri didasari atas respon positif dari kalangan indie jakarta tatkala Risky Summerbee and The Honey Thief bermain di Jakarta pada tahun 2008. Apresiasi dari publik yang positif terhadap Risky Summerbee and The Honey Thief semakin memantapkan jejak musik mereka dalam scene musik nasional. Tawaran konsep bermusik yang unik serta artistik yang tertata rapi membuat Risky Summerbee and The Honey Thief selalu ditunggu oleh penikmat musik di setiap kemunculannya. Berbekal hal tersebut mereka bekerjasama dengan Demajor di Jakarta. Demajor adalah sebuah label di Jakarta yang membantu distribusi dari penjualan album Risky Summerbee and The Honey Thief.

Risky Summerbee and The Honey Thief berawal dari sebuah komunitas teater yang berinisiatif untuk membentuk band. Terbiasa dengan performance art, mereka menuangkan kerumitan dan kedewasaan isi kepala mereka ke dalam musiknya. Inti musik mereka berpijak pada gagasan, ide, dan konsep yang diolah dengan matang tanpa harus terjebak pada satu genre musik tertentu. Bisa dilihat dari karya-karya mereka yang bernuansa pop folk, sedikit bumbu psychedelic, dan racikan rock progresif diaduk dalam blues.

Lagu pertama selesai dimainkan. Nuansa eksperimental terasa kental dibalut dengan aroma pop yang dinamis namun tetap terasa enak di telinga. Lagu kedua kembali digerung tanpa jeda waktu yang lama. A Walk The Country Mile diputar seolah ingin kembali mengajak penonton hanyut kedalam alunan blues yang mengalir dan mengajak penonton untuk menyelami keidahan blues yang bercumbu dengan nada-nada unik progresif. Disusul kemudian dengan Love affair # 9. Setelah beberapa lagu selesai dimainkan kancing pertama kemeja risky mulai terlepas. Udara ruangan yang panas dan sedikit pengap dengan kepulan asap rokok disana-sini semakin menambah suasana panas di dalam ruang pertunjukan.

Pada lagu ke empat, Nadya memainkan solonya disusul kemudian oleh lagu yang berjudul She Flies Alone dan With You. Alunan nada pop folk diramu dengan irama psychadelic disajikan Risky Summerbee and The Honey Thief dengan tepat.

Penampilan berikutnya menjadi sangat menarik ketika pada lagu With A little Help From My Friend, Risky Summerbee and The Honey Thief berkolaborasi dengan Jimmy Mahardika, salah satu personil dari SeekSixSick. Lagu ini sangat eksperimental dan bernuansa rock progresif namun tetap tidak menghilangkan taste bermusik Risky Summerbee and The Honey Thief. Pada penampilan di lagu tersebut Erwin tidak memakai gitarnya namun dia bermain keyboard.

Begitu pula pada kolaborasi selanjutnya, Risky Summerbee and The Honey Thief tetap tampil maksimal. Slap and Kiss dibawakan Risky Summerbee and The Honey Thief berkolaborasi dengan Arie Wulu atau lebih dikenal dengan Midi Junkie. Dengan nuansa yang lebih ke elektronik Risky Summerbee and The Honeythief mampu memanjakan telinga para penonton yang memang sudah dibuat terperangah oleh penampilan Risky Summerbee and The Honey Thief malam itu.

Setelah sesi kolaborasi selesai, Risky Summerbee and The Honey Thief kembali menghajar telinga penonton dengan lagu berjudul Make A Print Of Me, Fire Flies dan On a Bus. Pada dua lagu terakhir ini Risky memainkan Keyboard. Erwin kembali memainkan gitarnya dan Nadya tetap pada posisi semula meainkan keyboard. Flight To Amsterdam dilantunkan Riky Summerbee and The Honey Thief. Lagu ini bercerita tentang pejuang hak asasi manusia, Munir. Sebuah lagu yang menggugah. Sebagai lagu penutup The Place I Wanna Go dibawakan oleh Risky Summerbee and The Honey Thief. Di lagu terakhir yang dijadikan klimaks itu pula Risky Summerbee and The Honey Thief banyak mengucapkan terima kasih yang disusun dengan padat dan mencakup semua. Pantas saja saya tidak banyak melihat Risky berbicara diantara jeda lagu. Rupanya sudah disiapkan diakhir acara dan sekali lagi disampaikan dengan padat. Sebuah pertunjukkan klimaks dari Risky Summerbee and The Honey Thief.

dipublikasikan di www.ItsMusicBoxToday.com

Duo Berandalan Kembali ke Jalanan

Musisi kawakan Jogja Senna A.K.A Fredy Hadiyanto dan Foszilla A.K.A Fajar Adi berkolaborasi memulai sebuah petualangan baru. Bak duo racer berandal yang kembali ugal-ugalan di jalanan kota. Kali ini mereka menggeber mesin rock dengan hanya bersenjatakan bass dan drum. Dengan distorsi bass yang berputar kencang disertai dentuman beat drum yang liar mampu menaikkan adrenalin dengan intensitas tinggi. Mereka menyebut diri mereka Foggidy Acid.

Foggidy Acid dibentuk pada bulan agustus 2008 di Jogjakarta. Menamakan musik mereka dengan sebutan rock racer fantasia, ini merupakan pelabelan diri yang singkron dengan nuansa musik yang mereka mainkan. Rock racer fantasia menurut pengakuan Fredy lebih kepada racikan unsur unconventional-tuned di bass yang lebih banyak menggunakan distortion atau synthesizer cepat dan monoton. Di tambah dengan drum yang juga merupakan paduan antara pukulan surf rock dan riff giant beat.

Fredy hingga kini masih tercatat sebagai former Armada racun pada posisi vokalis dan bassist. Begitu pula dengan foszilla yang masih terus menggebuk drum dan membetot bass untuk Southern Beach terror dan Das Mustang. Duo ini mencoba mengeksplor sisi-sisi liar dalam pikiran mereka tentang musik rock yang simple namun tetap mamukau. Menjelajahi alam foggidy acid secara langsung kita akan diajaknya turut serta dalam alam pikiran kedua personel ini yang nakal. Mereka berbicara mengenai hal-hal simple yang jarang kita bicarakan seperti dalam lagu semalam mengantri di pom bensin. Beberapa tembang dalam EP Death of Corner Track Man menjadi soundtrack yang menarik untuk dinikmati dikala berkendara.

Dipublikasikan di www.ItsMusicBoxToday.com

Side Project Compilation

Sebuah rilisan perdana dari musicbox records. Bertajuk album kompilasi dengan titel Side Project. Tak dapat dipungkiri album kompilasi merupakan suatu hal yang teramat umum. Namun, bukan sembarangan pula musicbox mengkompilasikan beberapa band untuk kemudian dirilis. Sesuai dengan titelnya, musicbox menghadirkan sebuah karya dari beberapa band sampingan (side project) musisi Jogja yang aktif diluar band utamanya. Menjadi penting untuk diangkat mengingat semakin banyaknya karya band-band sampingan yang tidak terdokumentasi dengan baik. Biasanya hanya menjadi koleksi pribadi si pembuat karya.

Seperti layaknya band sampingan, secara musikalitas akan lebih banyak bereksperimen dan bermain-main dengan sound dan perangkat lainnya. Ini menjadi semacam penyegaran bagi person yang berada dalam band tersebut karena pada band utamanya mereka lebih mapan dalam urusan musikalitas. Akan tetapi Kompilasi side project tetap dibingkai dengan kualitas dan citarasa yang unik, segar, dan tetap berkarakter. Masing-masing band tetap bebas mengeksplor sound yang akan dikedepankan.

Perlu untuk digarisbawahi bahwa semua karya yang terangkum dalam kompilasi ini dibungkus dengan nuansa live recorded. Suasana sound live recorded tentunya akan menghadirkan energi dan emosi yang berbeda untuk pendengarnya. Dengan hadirnya kompilasi ini bukan berarti dapat menggambarkan keseluruhan band sampingan yang ada di Jogja. Namun, yang teramat penting adalah bahwa karya semacam ini umumnya banyak tercecer dan tidak banyak yang diketahui oleh publik. Sinyal inilah yang oleh musicbox kemudian diapresiasi bahwasanya and sampingan pun sangat potensial untuk digarap lebih serius.

Dipublikasikan di WWW.ItsMusicBoxToday.Com

Sebuah Ruang Perenungan Amnesiac Syndrome

salah satu band shoegaze Jogjakarta siap melaunching albumnya. Even launchingnya sendiri akan diselenggarakan di LIP. Ditemui disela-sela persiapan even tersebut redaksi mewawancarai dua personel Amnesiac, Risda (Gitar) dan Billy (gitar,vocal). Ide mengenai launching ini sendiri sebenarnya sudah mereka pikirkan sejak akhir tahun kemarin. Setelah melalui pemikiran yang panjang akhirnya mereka siap untuk melaunching album mereka pada tanggal 24 April 2009. ini sekaligus menjadi perkenalan kepada publik atas ide bermusik yang mereka usung.

Keterasingan adalah tema besar untuk acara launching album mereka Hard Rain in My Mind sekaligus menjadi konsep performance untuk aksi panggungnya. Tema Keterasingan (kesendirian) yang mereka angkat disini bukan berarti sebuah pesimisme artinya lebih lanjut Risda menjelaskan bahwa melalui kesendirian kita mampu menggali sisi-sisi optimisme. Kesendirian akan menjadi sebuah ruang perenungan untuk memikirkan kembali atas pilihan kita. Kita terbiasa untuk memilih apa yang terbaik untuk diri kita melalui proses keterasingan dan kesendirian. Terkadang mungkin kita akan asik sendiri untuk larut dalam sebuah kesendirian. Konsep semacam ini sebenarnya sejalan dengan musik oleh Amnesiac mainkan dan bisa terlihat jelas jika kita mendengarkan beberapa track di album barunya. Amnesiac menawarkan sebuah ruang perenungan atas diri masing-masing pendengarnya. Untuk performancenya mereka akan banyak bermain-main dengan simbol-simbol akan keterasingan dan kesendirian seperti fitting room, pantomim, siluet dan ekpresi gaya bermain yang lebih banyak diam (pasif). Untuk perform even ini amnesiac juga akan berkolaborasi dengan Ajie The Milo. Mengapa Ajie? Karena The Milo banyak menginpirasi amnesiac untuk berkarya, dalam ranah lokal The Milo menjadi sangat esensial bagi proses berrmusik Amnesiac. Sosok ajie mampu mewakili The Milo itu sendiri.

Amnesiac memandang even launchingnya ini sebagai sebuah pendokumentasian atas karya mereka selama ini. Ini adalah media untuk menyampaikan karya mereka ke publik. Berbicara masalah label yang menaungi mereka, secara gamblang mereka menjelaskan bahwa ide dan konsep untuk launching ini total berasal dari Amnesiac sendiri. Label hanya mengurusi sebatas produksi dan distribusi album. Jadi ide launching ini adalah murni dari amnesiac untuk khalayak.

Dipublikasikan di ItsMusicBoxToday.Com

Interview Risky Summerbee and The Honey Thief

Risky Summerbee and The Honey Thief (RSTH) adalah salah satu band di Jogja yang berangkat dari sebuah komunitas teater dan performing arts. Musik yang ditawarkan memiliki keragaman bentuk, berusaha berangkat dari sebuah gagasan, bukan berpijak pada sebuah genre musik tertentu. Keragaman tersebut bisa terlihat jelas di warna musik mereka. Sentuhan pop folk hingga psychedelic, dari blues sampai progresif rock bahkan musik kontemporer, mereka torehkan di warna musik mereka.

Saya berhasil memawancarai RSTH di kantor Swaragama selepas interview oleh radio Swaragama berkaitan dengan rencana performing mereka untuk tanggal 25 April 2009 di Jogja Nasional Museum (JNM).

Kenapa sih tanggal 25 itu RSTH membuat acara seperti itu?

Risky: Ya, ide itu berawal dari album kami yang sudah keluar Februari tahun ini. Trus pada waktu itu kami sebenarnya anti kata launching karena nantinya akan jadi latah namun atas beberapa pertimbangan kayaknya harus, dan memang harus, walaupun sebenarnya itu bukan launching ya tapi lebih kepada sosialisasi album kami yang sudah keluar. Ya udah akhirnya kita sepakati tanggal 25 kami mengadakan showcase, dengan mengundang beberapa teman dekat untuk main bareng. Intinya menyosialisasikan album kami yang udah keluar.

Konsepnya sendiri gimana mas?
Risky: Konsep acaranya besok diadakan di JNM. Kalo selama ini kita selalu integral gitu ya pertunjukkan dengan tata visual dan macem2, untuk kali ini mungkin tidak sepekat itu, jadi intinya ya inilah musik kami.

Cuma sesederhana itu mas?
Risky: Kalo sederhana, sederhana mungkin ya kata lainnya. Tapi mungkin , kalo kami mengundang beberapa teman gitu salah satunya ada yang kolaborasi dengan beberapa performer yang kami undang juga. Tetap ada tantangannya.

Kayaknya dulu pernah mengadakan acara juga di JNM
Risky: Dua tahun yang lalu kami juga pernah pentas di JNM mengolah musik kontemporer, itu tanggal 27 November. Ya kita pernah disitu juga.

Albumnya sendiri udah keluar mas?
Risky: Udah, bulan Februari kemarin, itu dengan label kami sendiri Dialectic Records bekerjasama dengan distributor Jakarta Demajor.

Responnya sendiri gimana?
Risky: Respon klo penjualan saya gak tau ya, belum tau, belum ada data yang valid, karena distributor bukan kami yang megang. tapi klo content of review gitu Majalah Trax pernah mereview positif, Koran Tempo juga pernah, kemudian yang terakhir itu wartawan musik senior lewat Facebook dan Multiply. Artinya cukup senang bahwa dia merespon album kami


Untuk recordnya sendiri itu punya RSTH juga?
Risky: Iya, pada dasarnya itu kan, kami bikin record label, di lingkaran kami Teater Garasi kami memunculkan ide itu bagaimana kalo kita bikin records label. Jadi itu memang kerjasama di komunitas kami. Tapi klo itu milik kami sendiri, iya memang itu records label milik kita sendiri. Sama halnya dengan MusicBox Records hehehe.

Tanggal 25 itu kan ticketingnya 25 ribu?
Risky: I5 ribu sampe hari ini, eh sampe kemaren, nah hari ini 25 ribu. Kontroversial yak?hehe.

Untuk band lokal jogja kayaknya tiket sebesar 25 ribu merupakan hal yang amat jarang dan terkesan mahal.
Risky: Artinya, iya, kalo di beberapa komunitas memang agak asing ya. Misalkan biasanya gratis atau 5 ribu. Tapi dari kita kemarin sudah memperbincangkan di intern kami bahwa kami pernah bikin pertunjukkan, dikemas juga, 5 kali pertunjukan mungkin dalam beberapa tahun. Pernah kami membuat acara seperti itu dengan harga 10 ribu dan itu responnya juga lumayan, orang pada datang. Dan artinya disini kita punya tradisi seperti itu walaupun yang lain mungkin nggak. Tapi ya dilihat dari sisi itu kemudian masa iya dua tahun 10 ribu terus? Itu satu hal. Yang kedua bahwa kali ini kami tidak ada pendukung dana, artinya kami harus mengusahakan caranya supaya itu bisa berlangsung, istilahe bak-buk lah, kemudian kita mempertimbnagkan bagaimana klo 25 ribu, dengan pertimbangan yang lain juga kualitas memang harus dijaga, ya tidak kami sendiri tapi juga performer yang lain.Bangkutaman, Bad Lovers Company dari Bandung, Frau dan kita juga mengajak Midi Junkie dan Jimmy Mahardika main di acara kami. Artinya dilihat dari sudut pandang mana dulu, klo dari orang yang sering liat gratisan ya itu ga biasa tapi bahwa sebuah laku kerja harus di apresiasi dan dihargai, kupikir masih sesuai dan masuk akal kok.

Pandangan RSTH sendiri dari gigs-gigs yang ada di Jogja yang selama ini ada gitu, itu gimana mas pandangannya, semacam yg kayak tadi itu yang biasanya free atau murah sekali dan ga ada reward untuk para penampil?
Doni: klo menurutku sih, klo masalah free, murah atau mahal itu memang hak dari band itu sendiri ya, karena ada dua sisi juga apresiasi klo menurutku. Itu yang memang digratiskan, itu dia mungkin punya maksud juga biar diapresiasi dengan lebih mudah. Jadi memang ada bebera pandangan yang berbeda. Tapi klo seumpama tiket, tiketnya harga segini mungkin juga ada alasannya. Gituuu. Jadi menurutku ga masalah. Gigs di Jogja klo menurutku harus ada apresiasi yang seperti itu. Ada juga penonton yang mengapresiasi dengan lebih, maksudnya ya mengeluarkan biaya juga. Tapi memang dua-duanya harus ada klo menurutku

Risky: Dari bandnya juga, kami boleh dibilang dalam situasi tertentu gitu tidak, piye yo ngomonge, mungkin kedepannya kita akan membuat pentas yang gratis gitu dalam situasi dan keadan tertentu mungkin begitu, tapi untuk yang kali ini ya perlu diapresiasi. Kan ada juga kerjaan yang membutuhkan support dari temen-temen juga. Jadi kami performance juga senang dan dengan berkualitas dan mereka juga senang. Jadi kami tidak menutup kemungkinan untuk kerjasama atau gratis.

Bulan-bulan ini kayaknya banyak acara semacam launching gitu, berturut-turut dari tanggal 24, 25 dan 26. ada sekitar 4 band yang melaunching albumnya. Tanggapan kalian sendiri bagaimana? Apakah senang dengan banyaknya perkembangan band Jogja atau justru ini semacam trend?
Doni: mungkin bisa juga itu trend, dikalangan band-band gitu. Itu seperti yang Risky bilang tadi sebenarnya kita ga ingin pake nama launching disitu, itu lama-lama menjadi trend dan esensinya nanti jadi latah, tapi ya ngga apa-apa itu juga bagus buat perkembangan band Jogja. Mereka udah berani menampilkan diri mereka gitu selain main di acara orang lain tapi mereka juga udah berani menampilkan diri karena ga banyak juga band yang seperti itu. Itu memang memerlukan pemikiran yang lebih. Jadi ya itu kalo ditanya masalah band indie gitu, yang dinamakan indie itu sendiri sebenarnya mindsetnya gimana, indie itu memang harus menyeluruh seperti showcase sendiri, produksi sendiri, dan bagaimana kita menggembang kan musik kita sendiri. Jogja udah banyak yang bisa launching album sendiri berarti itu udah bagus sekali perkembangan Jogja. Yang penting tidak harus jadi latah itu aja.

Risky: dengan banyaknya launching dalam arti kan banyak album yang keluar. Artinya itu menyenangkan dan itu positif. Banyak karya dan banyak output dari band-band jogja hanya bagaimana caranya biar itu ga lewat gitu aja, dari segi content atau dari segi apapun. Banyak sih ga pa pa tapi klo kemudian, ada album keluar harus launching dan asal showcase gitu aja. Ada jebakan bahwa itu akan lewat gitu aja. Memang harus kreatif bagaimana cara mengemasnya supaya tidak lewat. Bukan berarti kami mumpuni dalam hal itu. Intinya kami hanya ingin menampilkan karya kami dan pengen terdengar gitu karyanya dan pengen diaparesiasi, intinya kan gitu, entah itu launching atau ngga. Esensinya musik harus berkualitas dan jangan sampe lewat. Gitu aja deh.

Ini pertanyaan terakhir mas, Menurut kalian perkembangan musik Jogja hingga saat ini gimana? Menyenangkan atau justru buruk
Doni: menyenangkan, hehehe. Tapi masih kurang. Kalo aku lho ya secara pribadi, mungkin menyenangkan, banyak rilisan tapi masih kurang, jadi mungkin kalo untuk menyamai daerah lain seumpama Bandung, Jogja perlu bekerja keras lagi karena mungkin banyak banget band tapi ya itu lah, banyak yang mengikuti, jadi band yang punya karakter sendiri itu masih belum banyak. Jadi klo menurutku semoga di Jogja nantinya lebih banyak lagi karena masih kurang menurutku.

Risky: sebenernya banyak ya band, ya aku juga, istilahe aku ga ada disitu tapi aku tau seperti Alamanda begitu kan kami ga tau perkembangannya seperti apa, atau di komunitas-komunitas seperti apa, terus terang aku ga tau. Yang aku tau memang ada potensi-potensi yang bagus di Jogja, musikalitas ya, kalo kita ngomong musikalitas memang bagus, tapi klo balik ke pertanyaan awal bagaimana perkembangan musik Jogja ya aku suka bahkan bila dibandingkan dengan band-band yang di luar Jogja itu ga kalah, seperti punya ciri khas tersendiri yang dimunculkan dari Jogja. Yang aku tau itu, cuma itu dari musikalitasnya padahal kerja-kerja musik, kerja-kerja band itu tidak hanya dari segi musikalitas. Misalkan bagus, oke, trus ngopo njuan? Itu kan yang terjadi di Lockstock perkembangan pembicaraannya, artinya butuh media juga yang mendukung, pihak-pihak lain dan EO, bagaimana menyikapi band yang berkualitas itu. Intinya banyak lah yang kurang klo dipikir. Ya konteks sosial musik Jogja masih banyak yang kurang, kita tidak kuat. Kita punya gaya sendiri, yang terakhir aku lihat tanggapan di Facebook yang aku suka itu yang bahwa kita ngga harus mengukur dengan Jakarta dan Bandung. Kita punyanya apa ya itu yang digarap lah, jangan mengiblat ke yang lain, kalo kita mengiblat ke yang lain ya itu salah.

Doni: Kalo pengamatanku di Jogja tuh banyak band tapi kecendrungannya proyek, nah itu, jadi proyek. Dari kelihatannya itu banyak tapi ternyata itu proyek. Itu yang membedakan antara band proyek dengan yang bukan. Tapi mungkin yang bukan band proyek itu mungkin ga banyak. Trus proyek itu biasanya akan bertahan ya tergantung orang yang didalamnya itu, yang fokus sama proyek itu. Karena mereka masing-masing punya band juga. Jadi di Jogja kecendrungannya seperti itu mungkin itu berkaitan juga dengan atmosfirnya Jogja, musisi itu sukanya kumpul-kumpul, main musik itu sukanya kumpul-kumpul, ngejam, atau kalo ga ngejam itu ya kumpul-kumpul aja, klo lagi kumpul-kumpul mesti nanti menimbulkan ide untuk bikin proyek apa, itu nanti memunculkan lagi band-band baru, jadi kalo menurutku perkembangan Jogja lebih seperti itu, mungkin klo aku menyoroti tentang band proyek itu sebenarnya itu kekuatannya Jogja juga. Harapanku kedepannya mungkin bisa dikembangkan lebih lagi. Kayaknya hampir sama dengan Jakarta deh kalo seperti itu, tapi orangnya beda, dan proyeknya pun beda.

Risky: Ya itu, kerja musik itu tidak hanya kualitas dan musikalitas. Aku sepakat klo Jogja itu kota yang kreatif. Orang pada ngulik, ya itu terbukti pertama tuh ada beberapa yang unik. Klo menurutku punya karakter tersendiri cuma agak mentah, estetikanya raw dan kotor gitu. Ngga jelek ya, bagus cuma kotor gitu, itu yang membedakan dengan jakarta, artinya Jogja punya kualitas sendiri. Hanya bagaimana itu dikemas, bagaimana itu diwacanakan, itu yang kurang. Ya karena kita mungkin agraris lah, komunitas ada sendiri-sendiri, itu mungkin yang menjadi kendala, tapi yang dibutuhkan lebih dari itu, diwacanakan, intinya ini musik bagus piye carane khalayak luar itu tau ini musik bagus, bisa jadi effort dari bandnya sendiri kurang mempromokan musiknya atau kehabisan cara untuk mempromokannya. Karena klo ngomong masalah kapital kita memang kalah dari Jakarta ya, wong-wong Jakarta resik-resik, sugih-sugih kae, nduwe duit, ya kayak gitulah. Kita kan nggak, maksud kami kita punya cara lain. intinya itulah yang diusahakan, bisa jadi dari bandnya dan juga pendukung lainnya. Ya kayak Kickfest kemarinlah kan nampak, itu salah siapa? Ya bisa jadi salah bandnya juga dan faktor yang lainnya.

Dipublikasikan di ItsMusicBoxToday.Com

Paket Bingkisan Dari Hellavilla

Hellavilla records dalam waktu dekat akan segera melaunching dua band yang berada di bawah naungannya dalam satu paket. Lex Luthor The Hero (LLTH) telah mengeluarkan LP nya yang berjudul A Random Act Of Violence, disusul kemudian Spiders Last Moment yang menelurkan EP nya berjudul A New Tradition. Bersama, mereka akan melaunching kedua karya mereka pada tanggal 26 April 2009 bertempat di MC2, salah satu distro di Jogja.

Ditemui disebuah kedai kopi di samping studio avilla, saya mewawancarai Aryo (gitaris SLM) dan Jay (Vokalis LLTH). Menurut penuturan mereka, konsep yang mereka usung untuk launchingnya adalah cross over genre. Tema ini diangkat karena mereka meyakini bahwa genre musik yang ada di Jogjakarta sangat bervariasi. Oleh karenanya, mereka tidak ingin terjebak pada sebuah acara yang hanya menghadirkan band-band dari genre sejenis karena akan berpotensi monoton bagi jalannya acara dan suasana jenuh hanya akan didapat penonton ketika melihat pertunjukkannya. Untuk mewujudkan ide tersebut, mereka menggandeng beberapa band pendamping lintas genre sebagai pembuka untuk acara launhing mereka. Sebut saja Suddenly Sunday, Boddah, End of Julia dan Angry Neighbour sebagai band yang didaulat oleh kedua band yang akan launching untuk turut serta meramaikan suasana stage.

Bulan April rupanya menjadi bulan yang produktif bagi musisi Jogja. Lihat saja agenda yang ada pada bulan ini, berturut-turut tanggal 24, 25 dan 26 akan ada beberapa band yang akan melaunching karya mereka. Tanggal 24 akan menjadi malamnya Amnesiac Syndrome, tanggal 25 juga akan diselenggarakan sebuah konser menarik dari Risky Summerbee and The Honey Thief, selanjutnya tanggal 26 kita alan disajikan acara launching dari Lex Luthor The Hero dan Spiders Last Moment. Menanggapi hal ini, Aryo dan Jay optimis akan masa depan musik Jogja, mereka bangga dengan perkembangan musik Jogja dan bisa menjadi menjadi bagian dari hal tersebut adalah sebuah catatan tersendiri.

Dalam launchingnya baik LLTH dan SLM mempunyai sebuah pesan yang ingin disampaikan pada khalayak. Launching ini bertujuan untuk memacu bagi musisi Jogja untuk terus berkarya. Adanya acara ini sekaligus menjadi sebuah pembuktian eksistensi mereka bahwa mereka ada dan punya karya. Suka atau tidak terhadap karya mereka itu soal lain. penting untuk digarisbawahi, semoga ini menjadi awal dari pembuktian dari karya mereka, bukan menjadi yang terakhir.

Dipublikasikan di ItsMusicBoxToday.Com